Ada kalanya kereta melaju cepat meninggalkan semua yang tertinggal di stasiun tanpa pernah mengangkut kembali lagi ketertinggalan.. Di stasiun ini, aku mencoba melihat-lihat sekeliling, beberapa wajah tua dan kelelahan terduduk lemas karena selalu terlambat datang, diantaranya ada wajah segar dan muda yang tengah menunggu kereta selanjutnya dengan semangat dan harapan, sebagian ada wajah cerah tetapi layu yang asyik masyuk menggelar dialog lawan jenis dan tanpa sadar mereka membiarkan diri mereka tertinggal oleh jadwal kereta yang padat dan cepat. Aku memilih untuk sejenak untuk tertinggal, bukan karena aku terlambat, tapi karena ingin sedikit bernafas lega tanpa harus menerabas ke dalam himpitan sesak orang-orang di dalam kereta yang tidak ingin tertinggal masa dan waktu. terlalu sesak di dalam kereta sehingga aku sulit bernafas, kadang menahan sakit kaki terinjak atau badan tersenggol. Sedikit tertinggal waktu tidak mengapa untukku asalkan pada akhirnya aku sampai ketujuan walaupun dengan masinis tua yang ramah dengan kumis abu-abu dan seragam lusuhnya dan kereta bututnya yang berjalan pelan, daripada kereta otomatis modern tanpa masinis, yang bergerak secepat kilat dengan ribuan orang menumpuk didalamnya. Dengan kemungkinan akan terjadi tabrakan dahsyat dengan kereta super cepat lainnya.
Sayang,
berapa kali sudah aku katakan “kamu cantik”
Setiap kali kamu mematut dirimu di depan cermin, aku selalu mengecup lehermu dan bilang “kau cantik”. Setiap kali melihatmu terbangun di pagi hari, aku selalu menyapa “pagi cantik”. Berapa banyak waktu yang kita habiskan berendam dalam bath tub dan berpelukan lalu aku hujani kau dengan kata “kamu sangat cantik, aku mencintaimu”. Berapa banyak malam sebelum tidur aku mengecup bibirmu dan mengucap “selamat tidur cantik”.
Tapi hari ini, sepanjang hari kau terus bertanya “apa aku cantik?”.
Dan aku mulai bosan dengan pertanyaanmu.
Kamu cantik dan akan tetap menjadi cantik di hatiku.
Lalu kamu pulang dan membanting pintu, Aku yang pulang terlebih dahulu dan sedang asyik memasak sop buntut kesukaanmu dibuat keheranan. Aku melepaskan celemek dan mengikat rambutku, kamu mendengus kesal dengan mata merah berair, menatapku yang keheranan.
Kau berteriak “apa aku cantik??!!”
Aku memejamkan mata dan memelukmu kubelai halus rambutmu sambil berbisik
“kau tetap cantik dan akan selalu cantik untukku sayang”
Lalu kau mulai menangis sesenggukan dipelukanku
“kenapa sih bertanya seperti itu terus?” tanyaku
“mereka ... mereka bilang kau jauh lebih cantik dan pintar daripadaku, maka dari itu bulan depan kau yang dipilih mereka untuk ikut kontes kecantikan perempuan indonesia tingkat nasional. Bukan aku.”
Aku menghela nafas.
Blues night (Part 1)
The chemistry
Malam mengental, meninggalkan jejak senja basah di kota yang selalu menangiskan keluh kesahnya tentang menjadi renta sendiri. Seorang pemuda tegap dengan T-shirt Pink Floyd lusuh dan celana jeans biru tua yang memudar warnanya melompat keluar dari metromini, menyeret langkah kakinya memasuki gang sempit dipinggir jalan yang disesaki pedagang kaki lima dan angkutan umum yang berhenti menunggu penumpang. Tangannya meraih dompet yang bersembunyi di tas selempang coklatnya, dibukanya dompet, hanya tinggal 50ribu. Kemudian tangannya merogoh saku celana jeansnya dan menemukan uang Rp11.000 dan di saku kirinya Rp.8000 sisa kembalian metromini. Langkahnya berhenti di warung kecil untuk membeli sebungkus rokok dan segelas air mineral. Hidungnya menangkap bau pesing yang menguap dari got kecil sepanjang gang. Jarum jam bergeser pelan. gang sempit seperti ular hitam yang panjang diantara belukar hutan beton pencakar langit.
Perutnya bersenandung. Rupanya alkohol dan ganja tidak cukup mengenyangkan cacing di perutnya yang dalam waktu 2 jam telah bertransformasi menjadi naga. Pemuda itu mengutuk dalam hati. Malam semakin tinggi, wajahnya terlihat lelah menghadapi hari yang berat dikejar deadline pekerjaan yang tak kunjung berhenti di satu kalimat, selesai. Beberapa orang yang terlihat di pos ronda menyapanya dan memintanya berhenti untuk ikut bergabung main kartu. Pemuda itu menolak halus dengan sopan kemudian pamit pada temannya di pos ronda. Dia mulai memasuki gang sempit berikutnya. Tembok gang dipenuhi lumut, jalanan basah dan berbau amis bekas hujan menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Langkahnya diperlambat sambil menikmati rokok ditangan kanannya dan memainkan satu koin recehan 500 perak di tangan kirinya.
Diujung gang dibawah siraman cahaya lampu neon, seorang pelacur tengah memoleskan gincu pada bibir tipisnya sambil mengepulkan asap rokok. Pelacur itu tidak bergeming dan tetap asyik mengepulkan asap rokok mendengar siul nakal dari beberapa pria yang lewat melihat paha putih mulusnya. Pelacur mencibir kearah pria-pria yang bersiul karena ia yakin pasti pria-pria itu tidak punya cukup uang untuk membeli jasanya malam ini. Dari jauh mata pemuda dan pelacur bertemu, ada desir dalam darah mereka.
Sudah sering mereka bertemu, terlalu sering sehingga pemuda itu hapal malam-malam tertentu kapan si pelacur akan berdiri di bawah lampu dengan gincu merah yang selalu merekahkan bibir tipisnya. Mereka sering bertemu tanpa pernah menyapa. Ketika tubuhnya bergerak melewati pelacur itu. Dia melirik sekilas ke arah pelacur berwajah tirus. rambutnya hitam kelam panjang bergelombang tersapu cahaya lampu neon kuning yang redup. Dengan bibir bergincu merah darah dan gaun ketat berwarna hijau di atas lutut ditutup jaket jins dan sepatu bertali berhak tinggi seperti ada magnet yang menarik dari wajah tirusnya, tanpa polesan make up hanya gincu merah. Pelacur itu terlihat sederhana namun cantik.
Pelacur terus memperhatian pemuda ketika melewati dirinya. Sepertinya tuhan pun lelah memperhatikan mereka yang hanya berani memandang satu sama lain, dengan menjentikkan jarinya, tuhan membuat koin yang sedari tadi dimainkan si pemuda terlempar tergelincir bergerak mundur dan berhenti di dekat kaki si pelacur. Pemuda memutar badannya dan merunduk mengambil koin. Jantungnya berdegup kencang melihat kaki si pelacur yang mulus dikerok.
Pelacur itu menatap matanya penuh harap
"maaf aku pun miskin..."
Pelacur itu menghembus nafas kecewa. Kemudian bergegas melangkah pergi meninggalkan lelaki berkulit sawo matang itu. Lelaki itu menatap punggungnya. Sebelum akhirnya menawarkan sesuatu pada pelacur itu.
"tapi tunggu dulu! Aku punya 3 kaleng bir, sebungkus rokok, sekerat roti gandum bermentega, beberapa lembar keju, selembar selimut hangat dan setumpuk cerita jika kau berminat."
Pelacur menghentikan langkahnya, berbalik badan dan tersenyum. Kemudian mengangguk. Menggamit lengan si pemuda. Mereka berdua berjalan berbincang dan tertawa di gang sempit yang basah bekas sisa gerimis yang diterangi penerangan redup.
Setiap malam semua mahkluk tuham terlelap dalam dekapan malam. Setiap malam juga perempuan itu duduk dipinggir jendela, Adalah sebuah kesedihan yang merundungnya. Bertahun ia tidak dapat terlelap di kala malam menghembus. ia takut, hantu itu terus mengejarnya dalam lelap dan jaga. Setiap malam ia menangis, mengetuk pintu rumah tuhan dan meminta tuhan untuk memeluknya. Dirasa sudah ribuan bahkan jutaan kali dia berteriak dalam hati ingin rasanya melepas hantu bergaun hitam bernama masa lalu yang terus mengejarnya. Tapi percuma karena dia tidak melakukan apa-apa kecuali tetap duduk diam ditempatnya seperti semula.