Auld Lang syne (Part 1)
“Dan pada
akhirnya kita hanya kumpulan sejarah yang tidak akan pernah masuk dalam buku
pelajaran apapun untuk diingat.”
Semburat langit merayap pelan mengubah warnanya menjadi gradasi abu menjingga. Lampu lampu jalan masih
tegak menyiram kuning jalan yang basah sisa hujan semalam. Ada jejak mengeras
dan membekas di setiap inci aspal hitam yang kulewati, mereka bercerita tiap
detiknya tentang lalu lalang kendaraan dan langkah langkah yang tergesa menuju suatu tempat atau seseorang. Aku menatap
lekat kilasan kilasan di balik kaca jendela mobil, sudah lama gradasi warna
langit pagi yang hampir serupa dengan langit senja
ini menarik perhatianku dan terlalu lama aku tidak bangun sepagi ini untuk
menikmatinya.
Abu abu menjingga, warna yang tersaji dalam layar kaca mobilku
menerbangkan ingatanku pada dirimu, padahal aku sudah hampir melupakanmu, atau lebih tepatnya paling tidak aku berusaha
melupakanmu. 3 tahun belakangan ini kita tidak pernah bertemu, jangankan
bertemu, mendengar suaramu melalui jaringan selular pun tak akan
pernah aku lakukan semenjak kamu tidak pernah menjawab telepon dariku dan
akhirnya nomermu sama sekali tidak bisa dihubungi hingga sekarang. Tahukah seberapa besar aku membencimu? Sangat besar. Hingga Tuhan pun
bingung bagaimana caranya mempertemukan kita dalam pertemuan yang tak
terencana, Tuhan boleh sedikit linglung hinggap alpa membuat kamu dan aku untuk bertemu sekali saja
memperbaiki sesuatu yang telah remuk dan hancur, namun egoku berdiri tegak
menentang sekalipun wajahmu kerap mondar mandir memenuhi lalu lintas jalan pikiranku.
Sudah pasti kecewa mengambil porsi terbesar dalam andil kemarahanku ketika kamu pergi tiba-tiba tanpa. Tidak ada nota kecil seperti yang
biasa kamu tinggalkan untukku saat pagi meninggalkan ku yang tertidur
telanjang di kamar.
Dan ya, aku merindukan setiap catatan kecil yang sering kamu tulis utukku,
kadang kamu meletakkannya disembarang tempat yang menyebabkanku penasaran untuk
mencarinya. Setiap catatan kecilmu kusimpan rapi dalam kotak berwarna cokelat
di dalam lemariku. Ada ratusan catatan kecil didalamnya dan hampir 3 tahun ini
aku tak pernah lagi berusaha membuaka kotak tersebut. Jika aku membukanya itu
sama saja bunuh diri tenggelam dalam lautan kenangan bersamamu.
Tapi pagi itu tidak ada satu catatan pun untukku, entah apa yang ada
dipikiranmu. Mungkin kau lupa atau entahlah dan itu membuatku hancur. Aku telah
mencari dan mencari di setiap sudut rumah; kucari di laci lemari pakaianku,
tidak juga ada di dalam toples cemilanku ataupun terselip di sepatuku
sebagaimana kamu meletakkannya dahulu, sampai aku lelah dan menyerah.
Aku takut akan
kata ‘sejarah’ yang menjadi kata pada kalimat terakhir di buku yang dituliskan
Tuhan tentang kamu dan aku ketika amu menghilang entah kemana
dan aku menyibukkan diri menumbuk diriku dengan kenyamanan dalam bentuk
rutinitas yang sedari mula kupikir itu membosankan untuk kemudian melupakanmu. Dan pada
akhirnya kita hanya kumpulan sejarah yang tidak akan pernah masuk dalam buku
pelajaran apapun untuk diingat.
Sekarang, disaat aku berpikir bahwa aku telah betul betul melupakanmu dan
merasa berhasil menghapusmu dari ingatanku untuk kemudian memulai hidup baru
dengan perempuan bermata coklat justru kamu muncul tiba tiba di depan gerbang
kayu rumahku.
Maaf aku tak membukakan pintu untukmu, aku malah membiarkanmu diluar
bersama hujan. Aku sengaja. Karena aku membencimu. Tapi ternyata kehadiranmu
tidak berhenti di situ saja, di dalam doaku pun Tuhan menjentikkan jemarinya
menggambar wajahmu dalam pikiranku bahkan kamu pun ada berenang bersama Banjo
ikan mas koki ku di dalam kotak akuarium saat aku member makan Banjo. Entah
bagaimana caranya kamu bisa ada di dasar mangkuk mie rebusku dan tersenyum, aku
benci keadaan dimana kamu terus membayangiku.
Langit semakin memudar, gradasi abu jingga berubah menjadi biru yang pelan
dengan serat awan menggantung. Biru, warna kesukaanmu kan? Ah sial! Lagi lagi
terlalu banyak hal yang memaksaku untuk ingat kepadamu. Ternyata aku masih
hafal betul kesukaanmu bahkan lekuk tubuhmu. Dan karena terdapat banyak hal
seperti itulah yang kuanggap sebagai firasat, kemudian aku menggerakkan langkah
untuk menemuimu
Boleh jujur? Aku benci ada di tempat ini. Ini membuatku sakit, ya, sakit
karena kehilanganmu dan aku tampaknya masih belum rela atau bahkan tak pernah
rela. Aku melangkah keluar mobil, berjalan melewati taman dan membetulkan letak
kacamata hitamku.
Aku bergegas lari memasuki pintu rumah sakit, menerabas beberapa orang
yang menatapku kebingungan. Aku tidak perduli, aku hanya perduli keadaannya
saat ini. Ku tekan tombol lift berulang kali tapi tetap tak ada satupun lift
yang bergegas menjemputku menuju lantai 5. Habis sudah kesadaranku hingga aku
meluapkan emosi menendang pintu lift, seorang pasien dan suster menatapku yang
penuh amarah dengan ketakutan. Seseorang menghentikan aksiku menekan tombol
lift berulang ulang lalu menunjuk ke arah kananku yang tertulis: Tangga / Stairs.
Setelah mengucap terima kasih, aku beergegas lari menaiki anak tangga menuju
lantai 5 tempatmu terbaring menghitung sisa sisa helaian nafasmu yang makin
melemah.
Ada hawa dingin sehabis hujan tadi subuh yang mendekapku dan wangi tanah
basah sisa bersenggama dengan hujan. Langkahku terhenti, kutarik nafas dalam
dalam untuk melepaskan dadaku dari hantaman rasa kehilangan yang mengakar. Aku
bersamamu, disini tepat dihadapanmu. Tampaknya mereka menjaga rumahmu dengan
baik.
Aku mendekat memandangi dirinya yang ditempatkan pada ruangan isolasi, aku
hanya bisa menggapainya sebatas ruang disampingnya yang diberi sekat kaca. Dia
melepaskan masker oksigen, tersenyum dan melambai ke arahku. Aku menempelkan
tanganku pada kaca, mendekatkan wajah dan mulai menangis.
Maafkan aku, aku berbohong ketika semalam aku berteriak aku tidak
merindukanmu. Ada efek emosionil yang tidak lagi dapat tertangkap kelopak mata.
Aku rindu, aku membawakan sebuket bunga mawar putih kesukaanmu. Disini, didepan
nisanmu aku membuat pola salib pada kening, dada kiri dan dada kananku lalu
berdoa semoga Tuhan menjagamu. Dulu terlalu banyak perbedaan diantara kita. Mungkin hanya rasa sayang dan
cinta yang membuat kita bertahan dalam ketiadaan. Mereka bilang Tuhan itu satu
tapi cara kita saja yang berbeda dalam mengimani-Nya
Perempuan itu masih terbaring di atas tempat tidurnya di rumah sakit
dengan mukena berwarna putih yang dibawakan ibunya, suster berdiri disampingnya
menjaga dan memperhatikan mesin mesin yang tersambung ke badannya untuk mengetahui
detak jantungnya, bibirnya tak henti henti melantunkan doa dan harapan.
Sementara lelaki ini berlutut di altar, bibirnya terus memuji Tuhan dan berdoa.
Semoga perbedaan menyatukan mereka dan semoga ada jalan untuk menyatukan
mereka.
Kelopak bunga kamboja jatuh terserak tepat di pembaringan terakhirmu yang
ditumbuhi rumput hijau rapih dan malaikat malaikat kecil berlarian ke langit
menyampaikan doaku ke pintu surga, tempatmu bersembunyi menatapku sekarang
“untuk perempuanku tersayang, tetaplah menulis catatan kecil tentang
kehidupanmu bersama tuhan...leburkanlah ceritamu bersama hujan, agar aku tetap
dapat membaca dan mengerti keadaanmu. tidurlah dalam damai, dalam lantunan doa doa yang dialamatkan
kepadamu, aku merindukanmu. terima kasih, semalam kau mengunjungiku dan
memelukku dalam tidurku, aku masih merindukanmu dan akan tetap merindukanmu.”
Aku meletakkan bunga untukmu dan mencium nisanmu sebelum akhirnya
melangkah pergi menjalani kehidupan tanpanmu dan menunggu saatnya tiba Tuhan
menjemputku pulang untuk kembali bersamamu menulis tentang kita di surga.
2 comments
ah,harus!
ReplyDeleteaku masih mampu membayanginya.
dia yang tiga tahun tidak bertemu denganmu itu kemana ?
ReplyDelete