KARTU POS DARI REYKJAVIK
source: here |
Rasa mengikat hati. Begitulah yang kamu yakini hingga
sekarang. Terlepas dari apakah itu benar atau tidak, kamu merasa hatimu telah
terikat suatu rasa yang enggan pergi. Bersama gerimis di atap, tubuhmu
tumpah melewati saluran pembuangan. Mengalir pelan menuju selokan, bermuara di
sungai yang mengalir melewati kedai tempat kamu dan dia selalu berkencan. Lalu kamu berhenti. Hatimu didera harapan, meski
tahu apa yang kamu harapkan tidak lebih dari efek keputus asaan dan amarah;
Kosong.
Sampai
kapan kamu menanti ciumannya? Ciuman tidak runtuh dari langit, kecuali jika
langit-langit rumahmu runtuh saat kamu tengah memonyongkan bibir. Maka harapanmu terjawab sudah, kamu
berciuman; hanya saja bukan dengan dia, melainkan dengan gypsum dingin yang menjontorkan bibir
bagian atas.
Kamu memimpikan lagi pelukan
hangatnya tanpa nafsu, tatapan teduh langsung ke dasar hati dan kecupan ringan
di pipi yang melunasi hutang rindu, lama tidak bertemu. Tapi mimpimu terbuang
bersama ampas sate kambing yang lama mengendap di perutmu, pada pagi
hari. Lalu kamu tersadar bahwa semua hanyalah mimpi.
Terminal 2, Soekarno-Hatta airport 28 May 2014
Kamu sibuk membolak-balik selembar
boarding pass yang berada di genggaman. Memperhatikan nomor penerbangan, waktu
dan tanggal juga nomor tempat duduk di pesawat nanti. Roti isi dan susu cokelat
pengganti delay tidak tersentuh, kamu lebih memilih mengeluarkan uang untuk
segelas cappucino hangat yang diyakini dapat meredam
kegelisahanmu di ruang tunggu yang hening.
Pagi ini, pak pos mampir mengetuk
pintu rumah, membangunkanmu yang tengah terlelap dengan tujuan mengantarkan
kartu pos yang membuatmu terperanjat. Sebuah kartu pos sampai di genggaman mu,
dari Reykjavik,
Islandia. Kamu tertegun lama, keringat dingin membasahi kening. Untukmu, ini
lebih dari sekadar kartu pos biasa. Pelan-pelan Kamu menilik nama pengirim, berharap bukan dia yang
mengirimkan. Tapi apa pasal, hanya dia satu satunya yang kamu ketahui
menjejakkan kaki di Islandia. Migrain menyerang, saat namanya tertera jelas di
bagian pengirim.
Sekarang tiba saat yang tidak
pernah ditunggu-tunggu, dilempar ke ruang astral, dipaksa menerka keadaan dia
sekarang. Masih seperti dulu kah dia? Masih renyah kah tawa perempuan yang
membuatmu jatuh cinta? Masih merah apel kah pipinya yang selalu tersipu saat
kamu menciumnya? Masih adakah cinta untukmu di sudut tubuhnya yang bermarka
‘hati’? Separuh dari dirimu
menginginkannya kembali, menciummu sampai tidak tersisa liur dibibir,
mengatakan bahwa dia menyesal, setengah gila berurai air mata –walau kamu tahu
air matanya tidak lebih dari air mata buaya- memintamu untuk berada
disampingnya lagi.
Tapi separuh dari dirimu sebagai
lelaki merutuknya atas perpisahan yang perlahan membunuhmu. Siap menunjuknya
sebagai penyebab tergadainya hatimu di meja judi dan hanya bisa ditebus lewat
satu permintaan maaf yang tidak pernah keluar dari mulutnya.
Yang paling menyakitkan adalah dia
menandai perpisahan dengan sebuah ciuman, sebelum terbang menuju negeri yang
terletak 300 kilometer di sebelah timur greenwich.
Tidak ada kehendak untuk
menahannya karena dia telah membaur racun di sela bibirnya saat kamu memagut
bibir merahnya di bandara di hari keberangkatannya ke Reykjavik yang membuatmu
diam dan mengingkari ketika kamu mengetahui dengan pasti saat dia berpura-pura
mengamini doamu untuk kembali secepatnya, padahal tidak ada lagi kilatan gairah
dimatanya untukmu.
Genap 2 tahun. Tidak ada surat atau
pun telepon yang dia janjikan. Dan sekarang sebuah kartu pos darinya berada di
genggamanmu. Ada ajakan untuk singgah menemuinya saat senja di negeri tempat
dia menikmati hari-harinya sekarang.
Samar terdengar panggilan kepada
para penumpang pesawat dengan nomor penerbangan dan tujuan penerbangan yang
akan kamu tumpangi untuk segera naik ke pesawat. Saatnya beranjak melepaskan
masa lalu tanpa harus terbebani menggenggamnya untuk sepanjang sisa hidupmu.
Halo Gemilang, apa kabar?
Jika sempat dan ada waktu, datanglah ke pesta
pernikahanku 28 Maret 2014, jam 3 sore di Hallgrímskirkja.
Salam sayang,
Elle
Kamu menatap keluar jendela pesawat,
memalingkan wajah berharap tidak ada seorang pun memperhatikan bantal yang
menjadi sandaran semenjak lepas landas telah lepek basah karena air hujan di
matamu, dalam perjalanan seorang diri. Cintamu hilang, penantianmu selama 2
tahun kandas bersama datangnya kartu pos dari Reykjavik.
Hanya ada satu yang kamu pikirkan,
segera mendarat di kota lalu disusul kendaraan umum menuju kampung untuk
bertemu ibu dan meminta maaf. Kamu berada di titik penyesalan paling dalam
dihidupmu karena menepikan setiap peringatan yang keluar dari mulut ibumu
perihal dia yang tidak baik untukmu.
2 comments
Mba Naaj, ini fiksi?
ReplyDeletesendu banget.. :(
hallo mba naaj... akhirnya ke sini lai setelah sekian lamaa.. kangen baca fiksinya :D
ReplyDelete