RINDU
“penantian itu adalah akibat dari rasa cinta sejati yang
tumbuh. Aku mencintainya dengan
tulus tanpa embel embel apapun. Tanpa
titik dan tanpa tanda koma. Maka dari itu aku selalu menantinya
pulang…”
Suara mesin mobil menderu di halaman. Kepalaku
mencelat dari balik tirai jendela memastikan bahwa dia telah
pulang. Lelaki dengan style metroseksual bergegas keluar
dari mobil. Menutup
pintu pagar terlebih dahulu sebelum akhirnya menutup pintu mobil
sedannya yang sudah dua tahun ini menemaninya bertarung melawan kemacetan kota
Jakarta. Aku beringsut pelan menjauhi jendela.
Pintu rumah berderit pelan terbuka. Dia muncul dengan senyum yang hampir saja tak
terdeteksi bola mataku. Dia menatapku yang
berdiri disamping pintu. Mengelus kepalaku. Dengan sigap melempar tasnya di atas
meja kemudian berjalan pelan sambil mengendurkan dasi dan membuka kancing
kerahnya. Aku tidak berhenti menempelkan pandanganku pada sosoknya yang kini
terduduk di sofa ruangan tengah. Aku berjalan pelan mengambil tempat untuk ikut
duduk disampingnya.
Malam ini, langit
membeku. Hujan berhenti. Tak ada sesuatupun yang hangat yang bisa aku temukan
seperti tempo hari, tidak matanya tidak juga pelukannya. Semua dingin dan kaku. Mungkin habis tergerus
dijalan bersama roda kendaraannya yang menderu.
Aku selalu disini,
menanti dia pulang dalam keadaan apapun. Dalam keadaan senang atau sedih, tertawa
atau menangis. Terkadang dia pulang dengan luapan emosi yang tidak bisa lagi
disembunyikannya dan tak mencapai nalar pikirku dengan menendangi segala sesuatu dihadapannya, tak jarang pula terkadang
dia pulang dengan wanita yang berbeda setiap minggunya, tertawa berpelukan
hingga mereka menghabiskan malam yang meninggi dikamarnya, sampai matahari mencium pelan kedua pipinya dari balik
jendela, atau pulang dalam keadaan dimana kadar alkohol tinggi mengambil alih
kesadarannya.
Dan Aku selalu disini menunggunya pulang berharap Tuhan mengabulkan doaku untuk sekedar meraihku dipelukan hangat nya seperti dulu lagi. Menghabiskan malam mendengarkan racauannya sambil menikmati
cemilan yang dia buat atau sekedar menemaninya menyaksikan
klub bola favoritnya berlaga di televisi hingga terlelap.
Sudah tidak bisa kuhitung lagi berapa banyak malam
yang kuhabiskan dalam diam untuk menantinya
pulang. Kata nya penantian itu adalah akibat dari rasa cinta sejati
yang tumbuh. Aku mencintainya dengan tulus tanpa embel embel apapun. Tanpa titik dan tanpa tanda koma. Maka dari itu aku selalu menantinya pulang.
Kami berdua sama sama terhisap dalam diam yang mengerak di sofa. Aku dipaksa
untuk menebak isi pikirannya saat dia menoleh ke arahku dan bertanya “Wanna watch TV?” yang kubalas dengan
anggukan. dia mengambil remote dan mulai menyalakan kotak cerdas yang
menampilkan efek visual serta audio terbaik yang pernah diciptakan manusia.
Klik
‘Selamat malam
pemirsa, breaking news malam ini bla bla’
Klik
‘anda salah coba
kita lihat jawabannya, Survey membuktikan..’
Klik
‘saya mengeluarkan
statement ini agar perceraian kami tidak menjadi isu yang bla bla.’
Klik
‘pemirsa, hari ini harga index saham IHSG melonjak turun 37
poin.”
Ingin aku berteriak
bahwa aku tidak butuh acara TV apapun untuk mengalihkan perhatianku darinya.
Aku hanya ingin berada dipelukannya. Tapi dia tidak pernah mengerti.
Klik.
TV
dimatikan, dia tidak bisa menyembunyikan kebosanan yang lama bersarang menjadi
parasit dalam dirinya tanpa dia sadari, dipejamkannya mata mengusir rasa bosan
yang mulai menari nari dihadapannya. Tetap saja aku melihat kesedihan yang
menjalar melalui wajahnya. Entah apalagi yang menyebabkannya sedih. Dugaanku
benar, saat dia berjalan menuju piano yang terletak di ruang tengah dan jari
jemarinya mulai memainkan lagu itu lagi, lagu yang siapapun mendengarnya pasti
akan merasakan kekuatan dari kesedihan si pemainnya. Lagu yang kubenci karena
lagu inilah yang menenggelamkannya dalam air mata dan kesedihan. Pikiranku
mengembara tepat setahun yang lalu saat gadis dengan potongan rambut pendek dan
kacamata yang paling dicintainya meninggalkannya untuk hidup bersama dengan
pria lain, brengsek!
Gadis
itu membiarkan dia bertransformasi dari lelaki yang bahagia menjadi lelaki yang
lemah dan rapuh dengan pertahanan hati yang tak lebih dari sejangkal juga
membiarkannya tenggelam dalam lautan air mata juga endapan alkohol di aliran
darahnya. Aku membenci gadis itu dengan
seluruh kekuatan hidupku. Dia menghentikan permainan pianonya, menarik nafas
dan meraih gelas di atas meja disampingnya, dia mulai menungkan cognac kedalam
gelas berbentuk tulip. Tidak lagi Tuhan, tolong jangan malam ini.. doaku pada Tuhan.
Dia berhenti dan
melihat ke arahku, mataku. Sepertinya dia mendengar doa ku yang baru saja
terbang menuju pintu rumah Tuhan dan segera meletakkan gelas berisi cognac pada
tempatnya tanpa sempat tersentuh bibirnya, kemudian menyeret langkahnya ke arahku dan tersenyum hangat, senyum
yang selama ini aku tunggu. Senyum yang penuh, senyum yang membuat aku jatuh
cinta padanya pertama kali aku melihatnya dulu. Dia membuka kedua tangannya
untukku berlari ke arahnya dan memeluknya. Aku berlari menuju pelukannya,
pelukan yang setahun terakhir ini dia alpa memberikannya untukku.
“Come Brownie, I miss you so much. Let’s
go sleep now, I’m sorry for letting you alone in here. Tomorrow I’ll take you
to the park to play Frisbee as usual.”
“Guk..Guk.”
aku mengibaskan ekorku senang.
Dia merapatkan pelukannya terhadapku,
melebur sudah rasa rindu seekor anak anjing dari ras Samoyed terhadap tuannya.
aku merindukan dipeluknya dan kini aku merasakan kembali dekapan tangannya yang
hangat. Aku merindukan saat bermain di taman bersamanya atau sekedar berjalan
mengelilingi perumahan saat senja menipis. Terima kasih Tuhan, masih ada cinta
yang tersisa dalam diri tuanku untukku setidaknya untuk malam ini. Entah
bagaimana esok hari.
0 comments