Sebuah keheningan yang bangkit menyeruak keluar dari luka yang terlupa
Diam-diam menyelinap masuk ke dalam mimpi
Dan mengendap bagai sisa kopi di cangkir
Dia dengan rambut merah panjangnya yang tergerai
Mata yang besar berbinar
Dan bibir yg selalu menorehkan senyum di wajahmu
tetapi hari ini
Aku melihatnya kembali,
Namun kali ini ku ketemukan ia dalam wajah yang muram
dia menghela nafas lelah, seakan semua beban dipundaknya sudah melebihi kapasitas beban normal yang dipikul mahkluk sosial berlabel manusia
dan detik ini di depan kaca ini aku menemukannya dengan sebuah titik air di ujung mata
Saya tertegun.
Pandangan saya menembus gelas berisi strawberry punch yang berdiri menantang dihadapan saya yang sama sekali belum terjamah. Minuman yang sangat tidak cocok di cuaca sedingin ini.
Dia pun diam. Sesekali asyik memutar-mutar sendoknya. Mengaduk kopi hitam pekat dalam cangkir yang telah habis setengahnya, berharap mendapat pencerahan dari dalam kopinya.
Mata coklatnya yang pias bertemu mata ku. Lalu dengan suara renyahnya yang seperti biasa, dia mampu mencairkan kebekuan sesaat ini. “I miss you…” Kami tertawa bersama.
Pertama kali. Setelah melewati 3 tahun yang menjemukan, yang sempat menyesatkan kami dalam belantara nama dan rupa. Dan kini lewat sebuah pertemuan tak terencana yang direncanakan tuhan, kami duduk bersama berdua melintasi stigma waktu yang sanggup mengubah luka menjadi pualam dan membekukan air mata menjadi kristal garam.
Selalu ada senja yang panjang untuk sepotong percakapan.
Segala sesuatu telah berubah dalam 3 tahun ini Kami pun mempunyai persepsi berbeda dan tak mungkin menzinahi ideologi kami masing-masing Suatu keyakinan yang kami percayai meretas dari tekanan dua orang yang berani menjadi gila.
Lantas kami mulai menertawai dunia karena menemukan kenyataan bahwa gravitasi belum tirus bautnya tetapi dunia sudah mulai jungkir balik.
Percakapan kami mengembara kembali Menghadap horison tempat matahari terbenam Mengulang kisah, membangkitkan serpihan kenangan Ketika jiwa muda kami menjunjung tinggi kenaifan.
Kau tahu?
Kami pernah mencari tuhan, Bersama melewati proses pencerahan. Mencari tuhan dalam tumpukan buku keagamaan Yang bernilai lima belas ribu rupiah. Lantas dapatkah kami menemukan tuhan dengan hanya membayar sebesar lima belas ribu? Tidak, It’s priceless…
Kami pun pernah mencermati hidup Berpikir betapa kami sering kali mengkonsumsi apa yang sebenarnya tidak kami butuhkan Menyerap sesuatu yang nantinya perlahan ditolak tubuh Dan kemudian mengalirkannya pelan dari pori-pori jiwa.
Lantas berpikir mengapa kami diciptakan? Dan untuk apa kami diciptakan? Sebuah pertanyaan filosofis yang sebenarnya tak perlu pemikiran keras untuk memutar otak mencari jawabnya tetapi justru hanya mempersilahkan waktu untuk membuktikan.
Kami begitu muak dengan pakem hidup yang sederhana Lahir, hidup sambil pamrih pada tuhan, lalu mati. Tanpa melakukan hal untuk diri sendiri.
Pernah kami tidak dapat menahan efek emosionil Yang tidak sempat tertangkap kelopak mata karena terjebak labirin poliamori Mencaci maki dan menistakan pelaku poliamori Tanpa sadar bahwa kami adalah salah satu lakon didalamnya. Disana pun kami bertemu iblis yang menangis tersedu seperti anak kecil Berharap untuk dicintai, edan!!
Kami saling mencintai. Dan itu sempat membuat sekitar kami Mempertanyakan keotentikan gender kami. Mereka membuat persepsi salah, Karena kami sepasang perempuan yang saling mencintai dan menyayangi.
Jangan salah! Bukan berarti kami memproklamirkan diri menjadi bagian dari salah satu komunitas kaum lesbian tidak, tidak seperti itu…Cinta kami tulus Seperti cinta guru kepada anak didiknya, kakak pada adiknya, orang tua pada anaknya dan tuhan pada umatnya. Bukan cinta nafsu yang melegalkan kata pasangan sejenis.
Jangan kuatir kami masih normal. Kami masih menyukai lelaki dan mempunyai nafsu untuk memacu adrenalin bersenggama dengan lelaki hingga berpeluh dalam sunyinya malam walaupun itu hanya lewat sebuah sentuhan.
Kami bersama-sama mencari apa yang terdapat dari sebuah kebenaran dan lantas tercenung karena mendapati bahwa tidak ada yang otentik dari sebuah kebenaran karena kebenaran itu sendiri adalah sebuah kebenaran tanpa mengurangi nilai di dalamnya.
Dan pada akhirnya kami tidak mau sia-sia membatang arang seperti sisa api yang hendak padam. Kami juga tidak mau menyita waktu susuri langit hingga ke tepi karena kami tahu langit tak bertepi.
langit semakin menebal. kami melangkah pasti menuju parkiran PIM...kami enggan untuk berpisah karena euphoria telah menjadi momok yang membebani kami bahkan ketika nanti akhirnya kami kembali berpisah...
menuju hidup kami yang sebenarnya dan menanam dalam ingatan kami akan masa gejolak muda dan kemunafikan kami dulu...
akhirnya kami telah sampai di bagian yang paling sangat tidak diinginkan.
ucapan perpisahan,
selamat malam...semoga hari esok akan jauh lebih baik lagi...
Tuhan, aku benci setiap kali ada kebocoran yang menyebabkan setitik air harus keluar jatuh dari ujung mataku. Aku benci karena betapapun hebatnya James Watt menemukan mesin uap atau Samuel F.B. Morse yang menemukan telegrap ataupun Williarn Sturgeon yang menemukan electromagnet atapun manusia sekelas Wilhelm Conrad Rontgen yang menemukan sinar rontgen dan Alfred Nobel yang menemukan dinamit dan Irving Langmuir yang menemukan kawat pijar tetap saja sampai saat ini belum ada satu manusia di dunia ini yang berhasil menemukan penambal kebocoran yang satu ini.
bagaimanapun cara saya mengeja kata "Jakarta" tetap saja tidak akan mengubah kecintaan saya pada kota yang satu ini.
Hari ini kembali saya berpijak di kota kelahiran saya. Saya tetap cinta dengan kota ini. Banyak sisi Jakarta yang bisa saya gali. Kamu tau, Jakarta pun mampu membuat saya tersenyum sebagai tanda syukur di tengah kepadatannya yang seringkali kompleks.
Jakarta selalu sukses membuat saya jatuh cinta. saya suka jakarta di sore hari. saya jenuh, ya jenuh..jenuh dengan kepadatannya, kebisingannya dan polusinya ...tapi justru hal itulah yang kini membuat saya kembali memijakkan kaki disini di jakarta..
saya selalu bisa kembali ke sini karena jakarta menyuguhkan sesuatu pada saya...Suguhan itu berupa ’sisi romantis’ Jakarta yang sering lengah dinikmati penghuninya karena para penghuninya lebih sering mengeluh dan berharap, padahal begitu banyak momen yang bisa dinikmati.
Saya suka ice cream vanilla, tapi kemudian rasa jenuh itu mengambil alih indra perasa...saya pun alihkan perhatian pada ice cream rasa strawberry, chocolate, rum raisin, blueberry dan lainnya tapi ternyata setelah dihantam berbagai rasa manis, pahit, asam, segar, dan plain pada akhirnya saya kembali pada ice cream vanilla yang begitu lezat. selezat pertama kali melihatnya dan ingin langsung melahapnya...
March, 20 2008 catatan cerita akhir kita, masih ingat? saat itu terakhir kalinya kita duduk di rooftop...setelah itu? pergi selamanya.
Dia masih berdiri disana. Seperti biasa mengacak-ngacak rambutnya sendiri, sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Terkadang melepas kacamatanya, matanya menyipit ketika berusaha melihat ke arahku tanpa kacamatanya, lalu tersenyum. lelaki itu mengucek-ngucek mata dengan pelan lalu menyeka kacamatanya perlahan dengan ujung T-shirtnya.
Tangannya menyodorkan cangkir mungil berwarna putih berisikan cairan kental berwarna hitam yang sering disebut: KOPI! Hmmm...wangi...aroma wanginya menggelitik hidung, menggoda untuk disesap. Aku meniup kepulan asap yang berebut keluar dari cangkir sebelum kemudian menyesapnya perlahan sambil menutup mata membayangkan sensasi yang sebentar lagi mengambil alih di indera perasa ku
Hangat...
Tiba-tiba rasa sakit itu menyerang kembali
Lebih hebat dari sebelumnya
Tahu-tahu mata ini basah
aku menangis?!
dari balik kacamatanya dia masih memperhatikan ku lalu dia bilang;
+ kalau betul-betul patah hati pasti tu kopi rasanya enak
- Haa? Maksud nya?
+ itu kopi pahit yang aku buatin untuk kamu
Pahit? Aneh...
Dari tadi aku minum ga ada rasa pahit
Mana rasa pahitnya?
Tiba-tiba aku menikmati permainan rasa hambar di lidah. menghirup aroma kopi lalu meneguknya kembali.
sambil terdiam menatap matanya
Tadi dia bilang Kalau betul-betul patah hati...
+ “beneran kopi pahit?”
- “sumpah. Itu ga dipakein gula. Dan bener-bener pahit. Liat aja kental dan hitam banget kan?”
katanya sambil menunjuk isi cangkir yang gw pegang. aku mengangguk.
- kalo kamu patah hati pasti tu kopi rasanya enak
dia menghirup aroma kopi di cangkirnya, kemudian melepaskan pandangannya ke arah ku
- tapi kalo kamu engga betul-betul patah hati pasti kopi ini bakalan terasa pahitnya
+ kok bisa gitu?
- loe tau kenapa orang yang patah hati kaya lo engga ngerasain rasa pahitnya
Lagi-lagi gw menggeleng pelan.
- karena pahit di kopi ini udah dikalahin sama pahit yang ada disini
Tangannya meraih tanganku dan meletakan tanganku di dadaku
- kopi yang pahit ini kalo diminum sedikit-sedikit bisa mengalirkan perasaan yang menyakitkan jadi air mata...
Dia menggeser duduknya tepat disamping ku
- contohnya kaya gini
Katanya sambil menghapus jatuhan air mata di dekat mata gw
- it means, u really had those broken heart...and u can’t hide it from me, don’t pretended in front of me...I know u missed him...u miss Him...
Aku cuma tersenyum simpul dan menyeka air mata
Ada ada saja filsafat lelaki berkacamata ini....
aku letakan cangkir yang sudah habis setengahnya, di meja kecil bulat yang terbuat dari kayu bercat putih. Tampak sebagian catnya memudar kusam, karena terlalu sering terkena sinar matahari dan hujan secara bergantian.
+ hmmm how did u know that?
- u really dont want to know hehehe
Dia tertawa kecil, tawa ringannyanya yang khas.
+ darimana? - heee dari komik.
Tawa kami pecah bersama, ada-ada saja, belajar filsafat gratisan dari komik....boleh juga dicoba. Kami pun duduk bersebrangan. Terdiam. matanya memperhatikanku dari balik kacamata kotaknya. sejurus kemudian aku dan kamu saling melemparkan pandangan ke langit hitam. Jauh diatas sana dan jauh dibawah sana Jakarta masih terjaga disaat waktu telah menunjukan pukul 23.58 malam.Waktu yang tepat untuk terlelap mengingat esok pagi akan kembali menjalani aktifitas yang itu-itu lagi. Selalu, setiap hari
23.58. 2 menit lagi menuju dini hari. 2 menit lagi menuju hari esok, yang baru. 2 menit lagi menuju misteri takdir yang akan segera terungkap. Dan ternyata 2 menit lagi menuju akhir cerita hidupnya...Setelah itu hilang
selamanya...dia dan kacamatanya pergi. Selamanya, tapi dia dan kopinya selalu disini (hati)selamanya...
Petugas kesehatan berkata,
“Untuk orang miskin di bangsal itu.”
Sambil menunjuk sebuah ruang yang besar dan rami dengan deretan tempat tidur dari besi Terlihat ruangan begitu pengap dengan bau pesing
Para pasien duduk berhimpit-himpitan
Dan mereka harus menahan diri untuk tidak buang hajat
Sanitasi mati…
Seorang bapak tua tergeletak tak berdaya
Ditemani istrinya yang setia
Sama-sama menerawang, putus asa
Hampir setengah bulan tidak ada perubahan
Ada yang hanya didata dan ditinggal pergi begitu saja
Dokter punya alasan yang tepat, dinas ke luar kota.
Menulislah
Walau terkadang menulis hanya kan bangkitkan sedikit kenangan masa lalu dengannya, jangan berhenti!
Ceritakanlah pada dunia,
Meski mungkin sebagian diantara mereka tertawa.
Meski sebagian diantara mereka menganggap hidupmu terlalu menderita.
Atau mungkin sebagaian diantara mereka menganggap dirimu bodoh hanya karna terlalu setia pada satu cinta.
Apapun itu… menulislah.
Meski mungkin kau tak pandai menggunakan kata-kata berkilau
Siang menuju senja
Matahari mulai turun
Beberapa orang sibuk berlalu lalang
Di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta
Keringat mengalir pada pelipisnya
sesekali
Dia membetulkan letak kacamatanya
Sambil tidak melepaskan pandangan dariku
“mata mu bagus!”
Entah itu pujian yg datang tulus dari hatinya atau rayuan gombal Aku bergeming
“Gombal!”
Aku memaki, namun ada senyum yg tak mungkin dapat dilihat oleh dia
Hmm...terima kasih
“yee...seriusan malah dibilang gombal, gimana sih!”
Dia tersenyum, manis.
Dengan cepat menyulut rokok yang sedari tadi bermain di jari-jarinya
dengan pemantik kesayangannya,
menghisap dalam-dalam dan menghembuskan asap rokoknya
“jangan nangis lagi, mata kamu terlalu indah buat disesaki air mata”
katanya serius Matanya yang berwarna coklat pias bertemu dengan mataku
Matanya bicara banyak.
Namun, ia enggan membaginya dengan orang lain, termasuk aku.
Dibatasinya aku dengan sebaris senyum.
Tipis. Setipis tadi. Sayang, tak semanis tadi.
Mungkin ini bisa disebut astral.
Aku seolah dilempar ke tepi pintu dunianya.
Meraba-raba, apa yang tengah ia pikirkan.
Menebak adakah yang hendak dia ucapkan
Aku membeku
Apa sosok ku juga indah di hati mu...?
Kami berdua terdiam
Larut dalam perjalanan pikiran masing-masing
Mungkin, besok,
bisa aku mulai dengan ‘selamat pagi’.
Atau, ‘hai ketemu lagi’.
Setiap hari, selalu kuniatkan itu.
Tapi, sampai hari ini, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku,
Aku memilih menatapnya saja.
Mengajaknya bicara dalam diam.
‘Sometimes, king and queen cannot “sit” together in the real world. But, still you have that place in my heart.’
Hari itu, aku menjadi ratu tanpa takhta dan mahkota di hatinya.