Powered by Blogger.

Ranjang

by - 18:44

source: weheartit



Seperempat jiwanya terbang menuju kota dimana perempuan berambut cokelat itu tertidur, melebur bersama hujan di bulan Desember yang menitik di pipi, mata dan helai rambutnya. Mengirimkan pesan rindu. Setiap detik merayap di kertas menuliskan barisan kata penghantar pagi, siang dan malam; pesan untuk ia yang tak pernah dia kirimkan.

Mereka dipertemukan dalam keterasingan yang melelahkan, lalu ia berceloteh tentang waktu yang beranjak dewasa dan keinginannya untuk bebas. Jarak mereka hanya sejengkal, dipersatukan lumatan ciuman dan pelukan. Lalu sedih itu merambat di dada, perih, karena rasa itu tumbuh pelan dan menguat mengakar di-nadi masing masing. Samba De Bencao dari Bebel Gilberto mengalun pelan membelah sepi.

E melhor ser alegre que ser triste, Alegria e a melhor coisa que existeE assim como a luz no coracao, Mas pra fazer um samba com beleza e  preciso um bocado de tristeza, senao nao se faz um samba nao

“kenapa menghilang terus-terusan?”  

Perempuan berambut cokelat, berkulit putih terbaring telanjang mulai menggeliat dan menjawab pertanyaan lelaki yang terbaring di hadapannya dengan ciuman yang kembali memancing gairahnya, malam ini dia hanya ingin menikmati pelukan tanpa rasa takut akan kehilangan, Perempuan itu kembali mengecup kedua matanya, meluncur perlahan turun ke hidung terus melewati bibir dan leher hingga terus kebawah membuat selangkangannya mendidih, dia merintih. Membuat tiap inci tubuhnya memohon lebih dan lebih.

Hujan semakin deras diluar, malam belum lagi rebah. Angin yang kesepian mondar mandir rmencari teman yang serupa dengan melemparkan pecahan bulir bulir hujan ke muka jendela. Dia menatap layu ke arah kepala perempuan yang bergerak naik turun di antara kedua pahanya, tepat dibelakang kepala yang timbul tenggelam itu, terlihat tayangan film di televisi

Fazer samba nao e contar piada, e quem faz samba assim nao e de nada o bom samba e uma forma de oracao… Porque o samba e a tristeza que balanca e a tristeza tem sempre uma esperanca, De um dia nao ser mais triste nao ..

Bebel Gilberto masih menyanyikan Samba De Bencao dengan sendu ketika badai mulai menggemuruh di kamar berukuran 5x5m. disiram cahaya kuning lampu jalan dari jendela. Di tempat tidur; petir bersahutan, lenguh kilat, diakhiri dengan ledakan hujan yang membasahi sebagian paha perempuan berambut cokelat dan juga terpercik pada sprei ranjang apartemen. Sesudah itu semua mereda dan sunyi. meninggalkan percakapan dengan peluh dan nafas yg tersengal. Perempuan berambut cokelat duduk telanjang di pinggir ranjang sambil memainkan ujung rambutnya, sedangkan dia membersihkan sisa sisa percikan hujan pada daging yang menyembul diantara selangkangannya dengan tissue.

Lampu kamar menyiram kuning kau dan aku yang terbaring berhadapan, kumulai jemariku menelusuri pias coklat matamu, lalu merah hangat pipimu dan gairah yang bersemayam di bibirmu. Aku hanya memastikan rasa itu ada. Kau tak pernah memandang mataku, entah kau takut aku membaca rasa atau kau tak mau membuatku sedih karena tak ada rasa yang menyubit hatimu. Datang dan hilang adalah sesuatu yang kau anggap biasa, aku telah melewati beberapa hati dan belantara rupa hanya untuk menunggumu datang kembali dan mengurungkan niatmu untuk hilang lagi, tapi Kau hanya memberiku punggung telanjangmu yang dingin dan pelukan serta kecup di bibir. Apa rasa itu merayap perlahan atau tak pernah ada? 

“belum terjawab, kenapa kamu selalu menghilang?.”

Dejavu, Ia selalu terjebak oleh pertanyaan dia yang kerap ia hindari, bukan karena ia tak memiliki jawabannya tetapi juga karena ia merasa tak perlu membicarakan alasan dibalik sikapnya yang kerap keluar masuk hati dia tanpa pamit terlebih dahulu.

“Jangan jangan kau menghilang karena mabuk?.”

Ya, aku mabuk. Mabuk karena hanya sebatas bayanganmu saja kau dapat kunikmati tidak hatimu. Mabuk dengan perih yang menjalar. Jarak kita hanya sejengkal, tubuh kita berdekap, bibir kita berpagut, tapi entah dimana hatimu, mungkin hilang terbawa hujan di senja. Isyarat hatiku tak terbaca mata hatimu. Tanpa kamu sadari, perempuan itu masih disana kan? Disatu ruang di hatimu yang bermarka ‘kenangan’. Aku mencoba menggesernya namun tak kau ijinkan.Maka dari itu apakah ketika aku hilang kau akan mencari? Mungkin iya mungkin tidak karena aku tahu hatimu masih tersangkut pada masa lalu yang menjerat. Aku benci makan malam yang kau ganti dengan menu pahit: serat hatimu yang dingin. Hasil percakapan malam itu: dua punggung yang saling berhadapan, dingin.

Mungkin dibawah alam sadar antara ia dan dia masih ada dinding tak terdeteksi kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Dinding yang memiliki koneksi kuat pada masa lalu yang tak pernah mau lepas jika salah satu dari mereka tidak melepaskan. Mungkin tidak sekarang, mungkin esok atau lusa ketika mereka terjaga dari lelap dan yang tersisa hanya kenangan akan rindu lenguhan panjang pada ranjang dan peluh semalaman. Baru akan disadari bahwa setidaknya berpelukan semalam membawa bahagia hingga menguatkan mereka dalam janji dihadapan Tuhan, setidaknya malam ini mereka bercinta dengan sisa tenaga yang ada bersama desahan khas Bebel Gilberto sampai akhirnya tertidur dalam pelukan dan berciuman lekat lekat, sebelum esok hari kembali menghilang dan entah kapan pulang.


Poe um pouco de amor numa cadencia, E vai ver que ninguem no mundo vence A beleza que tem um samba nao porque o samba nasceu la na Bahia, E se hoje ele e branco na poesia Ele e negro demais no coracao

You May Also Like

0 comments