Ranjang
source: weheartit |
Seperempat jiwanya terbang menuju
kota dimana perempuan berambut cokelat itu tertidur,
melebur bersama hujan di bulan Desember yang menitik di pipi, mata dan helai
rambutnya. Mengirimkan pesan rindu. Setiap
detik merayap di kertas menuliskan barisan kata penghantar pagi, siang dan
malam; pesan untuk ia yang
tak pernah dia kirimkan.
Mereka dipertemukan dalam keterasingan yang
melelahkan, lalu ia berceloteh tentang waktu yang beranjak
dewasa dan keinginannya untuk bebas. Jarak mereka hanya
sejengkal, dipersatukan lumatan ciuman dan pelukan. Lalu sedih itu
merambat di dada, perih, karena rasa itu tumbuh pelan dan menguat mengakar
di-nadi masing masing. Samba De Bencao dari Bebel Gilberto mengalun pelan membelah sepi.
E
melhor ser alegre que ser triste, Alegria
e a melhor coisa que existe…E assim
como a luz no coracao, Mas pra fazer um samba com beleza e preciso um bocado de tristeza, senao nao se faz um samba
nao…
“kenapa menghilang terus-terusan?”
Perempuan berambut cokelat, berkulit putih terbaring
telanjang mulai menggeliat dan menjawab pertanyaan lelaki yang terbaring di hadapannya dengan ciuman yang
kembali memancing gairahnya, malam ini dia hanya ingin menikmati pelukan tanpa
rasa takut akan kehilangan, Perempuan itu kembali mengecup kedua matanya,
meluncur perlahan turun ke hidung terus melewati bibir dan leher hingga terus
kebawah membuat selangkangannya mendidih, dia merintih. Membuat tiap inci tubuhnya memohon lebih dan
lebih.
Hujan semakin deras diluar,
malam belum lagi rebah. Angin yang kesepian mondar mandir rmencari teman yang
serupa dengan melemparkan pecahan bulir bulir hujan ke muka jendela. Dia
menatap layu ke arah kepala perempuan yang bergerak naik turun di antara kedua
pahanya, tepat dibelakang kepala yang timbul tenggelam itu, terlihat tayangan
film di televisi
Fazer samba nao e contar piada, e quem faz
samba assim nao e de nada o bom
samba e uma forma de oracao… Porque
o samba e a tristeza que balanca e
a tristeza tem sempre uma esperanca, De
um dia nao ser mais triste nao ..
Bebel Gilberto masih
menyanyikan Samba De Bencao dengan sendu ketika badai mulai menggemuruh
di kamar berukuran 5x5m. disiram cahaya
kuning lampu jalan dari jendela. Di
tempat tidur; petir bersahutan, lenguh kilat,
diakhiri dengan ledakan hujan yang membasahi sebagian paha perempuan berambut cokelat dan juga terpercik pada sprei ranjang apartemen.
Sesudah itu semua mereda dan sunyi. meninggalkan percakapan dengan peluh dan
nafas yg tersengal. Perempuan berambut cokelat duduk
telanjang di pinggir ranjang sambil memainkan ujung rambutnya, sedangkan dia membersihkan sisa sisa percikan hujan pada
daging yang menyembul diantara selangkangannya dengan tissue.
Lampu kamar menyiram kuning kau dan aku
yang terbaring berhadapan, kumulai jemariku menelusuri pias coklat matamu, lalu
merah hangat pipimu dan gairah yang bersemayam di bibirmu. Aku hanya memastikan
rasa itu ada. Kau tak pernah memandang mataku, entah kau takut aku membaca rasa
atau kau tak mau membuatku sedih karena tak ada rasa yang menyubit
hatimu. Datang dan hilang adalah
sesuatu yang kau anggap biasa, aku telah melewati beberapa hati dan belantara
rupa hanya untuk menunggumu datang kembali dan mengurungkan niatmu untuk hilang
lagi, tapi Kau hanya
memberiku punggung telanjangmu yang dingin dan pelukan serta kecup di bibir.
Apa rasa itu merayap perlahan atau tak pernah ada?
“belum terjawab, kenapa kamu selalu menghilang?.”
Dejavu, Ia selalu terjebak oleh pertanyaan dia yang kerap ia hindari, bukan karena ia tak
memiliki jawabannya tetapi juga karena ia merasa tak perlu membicarakan alasan dibalik
sikapnya yang kerap keluar masuk hati dia tanpa pamit terlebih dahulu.
“Jangan jangan kau menghilang karena mabuk?.”
Ya, aku mabuk. Mabuk karena hanya
sebatas bayanganmu saja kau dapat kunikmati tidak hatimu. Mabuk dengan perih
yang menjalar. Jarak kita hanya sejengkal, tubuh kita berdekap, bibir kita
berpagut, tapi entah dimana hatimu, mungkin hilang terbawa hujan di senja.
Isyarat hatiku tak terbaca mata hatimu. Tanpa kamu sadari, perempuan itu masih disana kan? Disatu
ruang di hatimu yang bermarka ‘kenangan’. Aku mencoba menggesernya namun tak
kau ijinkan.Maka dari itu apakah ketika aku hilang kau akan mencari? Mungkin
iya mungkin tidak karena aku tahu hatimu masih tersangkut pada masa lalu yang
menjerat. Aku
benci makan malam yang kau ganti dengan menu pahit: serat hatimu yang
dingin. Hasil percakapan malam itu: dua punggung yang saling berhadapan,
dingin.
Mungkin dibawah alam sadar antara ia dan dia masih ada dinding tak
terdeteksi kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Dinding yang memiliki
koneksi kuat pada masa lalu yang tak pernah mau lepas jika salah satu dari
mereka tidak melepaskan. Mungkin tidak sekarang, mungkin esok atau
lusa ketika mereka terjaga dari lelap dan yang
tersisa hanya kenangan akan rindu lenguhan panjang pada ranjang dan peluh
semalaman. Baru akan disadari bahwa setidaknya berpelukan semalam membawa
bahagia hingga menguatkan mereka dalam janji dihadapan Tuhan, setidaknya malam
ini mereka bercinta dengan sisa tenaga yang ada
bersama desahan khas Bebel Gilberto sampai akhirnya tertidur dalam pelukan dan
berciuman lekat lekat, sebelum esok hari kembali menghilang dan entah kapan
pulang.
Poe um
pouco de amor numa cadencia, E vai
ver que ninguem no mundo vence … A beleza que tem um
samba nao porque o
samba nasceu la na Bahia, E se
hoje ele e branco na poesia Ele e
negro demais no coracao
0 comments