Auld Lang Syne, Harun (Part 2)
Hallo, Apa kabar Harun?
Tanpa aku harus bertanya pun, aku
tahu kabarmu. Langitmu sedang cerah, Tuhan tumpahkan banyak warna biru muda di
semesta kecilmu. Maaf , aku tiba tiba saja datang. Aku
tahu kamu pasti tak akan suka ketika langit birumu tertutupi mendung kelabu.
Tapi aku rindu, sudah 3 tahun kita tidak bertemu. Terakhir yang aku ingat: kita
berdua duduk berpelukan di bangku taman. Saat itu mendung dan angin pun
menikmati peran barunya sebagai hairstylist dadakan yang seenaknya mengubah tatanan rambut kita. Air danau yang berwarna
hijau dipenuhi guguran daun angsana yang kuning menua dan
dingin, lalu kamu berbisik:
“Jangan pergi…”
Kalau saja aku bisa, aku tidak mau untuk
beranjak pergi. Jika saja detik jarum jam dapat memutar dirinya sendiri melawan
arah jarum jam, pasti
kamu tahu apa yang akan kita lakukan. Tapi kau tahu bukan, kita kerap keluar
masuk toko barang antik untuk
mencari jam pasir langka yang mereka bilang dapat
mengulang waktu, tapi sayangnya tidak pernah kita temukan. Yang tersisa senja
hari itu antara kamu dan aku adalah air asin merembes perlahan dari lubang
kecil di ujung mata. Aku mengerti, kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menambal kebocoran pada kedua matamu tapi usaha mu sia-sia. Aku mengerti
ketidak mengertianmu akan keputusanku untuk meninggalkanmu. Bukan salahmu, juga
bukan salah Tuhan, tetapi inilah yang harus kita terima dan ikhlas jalani.
Sejak hari itu kita tidak pernah duduk
bersama lagi untuk sekedar mengupas, memotong, mengunyah dengan campuran ludah
sampai menelan bulat-bulat sebuah percakapan seperti biasanya dengan gelak
tawa. Pun kamu memutuskan meletakkan pena, berhenti menulis
untukku. Terakhir yang ku tahu kamu gunakan jarimu sebagai penanya dan
darahmu sebagai tintanya serta air matamu menjadi alas tulisnya untuk sebuah pengingat
perpisahan untukku.
Sekarang mungkin tidak ada lagi sapaan
‘Selamat pagi’ yang rajin kamu kirim saat matahari merekah mencium
hangat ubun-ubun kepalaku. Tidak juga berlembar-lembar puisi dadakan yang kamu buat
dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumahku. Tidak
ada lagi cerita dan tawa dengan menikmati secangkir teh dan
kue kering jahe seperti biasa. Yang tersisa hanya helaan nafas panjang juga
sisa sisa air mata mengering di pipi.
Mungkin kita terlalu lama mencoba
beradaptasi dalam kesunyian yang diciptakan keadaan. Terperangkap dalam kotak
waktu, dan kita dipaksa untuk terus
bergerak maju tanpa pernah berhenti sejenak untuk saling mengusap peluh dan
menatap wajah masing masing.
Seperti kau bilang dulu: “sulit mengerti banyak hal. begitu banyak hal yang sulit dimengerti”
Hari ini aku meluangkan waktu untuk
datang menengokmu. Aku tak mau mengagetkanmu. Cukup
melihatmu dari jauh aku tahu bahwa kamu baik baik saja. Aku jauh dibelakangmu
ketika dirimu melangkahkan kaki menuju altar gereja dengan garis senyum
khas yang selalu membuat jantungku berdegup saat menatapnya. Semua sahabatmu
yang juga kukenal baik pun hadir tak terkecuali ayahmu yang sibuk menyelipkan
mawar putih di kantung sebelah kanan jas nya, juga ibumu yang tetap terlihat
cantik dan adikmu yang tertawa bersama sepupu-sepupumu. Mereka hadir semua
untukmu, kamu sungguh beruntung Harun.
Aku berharap mereka tidak melihat ku dalam keadaan seperti sekarang ini, aku
beruntung karena tempat yang kupilih untuk berdiri tak terjamah ekor mata
mereka.
Dan piano yang dimainkan pianis gereja
berdenting saat perempuan manis yang mempunyai rambut panjang terurai dihias bunga dengan gaun putih melangkah masuk
perlahan, menuju mu yang berdiri di
ujung altar. Dia beruntung, dia mempelaimu.
Kalian punya banyak kesamaan, tidak
seperti kita dahulu yang mencoba berdiri tegak di atas perbedaan, tanpa
menyadari bahwa perbedaan ittulah yang melukai kita. Sudah banyak yang
mengatakan ‘beda itu indah.’ Namun nyatanya pahit, tidak
semanis gulali yang kerap kamu belikan untukku dari
pasar malam di kampung dekat rumahku dulu. Yang kita tahu adalah beda itu menyakitkan
dan sulit dimengerti.
Sekarang genap sudah kamu berdiri bersisikan dia. Boleh
aku bilang aku iri? Betul Harun, aku iri. Tapi apa kehedak, bahwa Tuhanmu dan
Tuhanku tidak menyetujui kita bersampingan menghadap mereka dalam suatu
pengucapan janji sehidup semati.
Bisikan
doa sebelum misa pernikahan dimulai, doa dari hatimu yang disampaikan angin, hingga menyentuh telingaku dalam senyap. Dengan menghadap Tuhanmu yang tersalib
di altar gereja, kamu memejamkan mata, menarik nafas dan mulai berdoa:
“Tuhan..aku rindu dia, sampaikan salamku padanya tuhan, aku sangat rindu.. jaga dia untukku tuhan,semoga dia damai disisiMu. atas nama Bapa, Roh
kudus dan Bunda Maria, amin.”
Suara adzan telah menggema, memenuhi
langit senja. Kamu lihat? Dua malaikat tersenyum di pelataran untuk menjemputku kembali pulang. Ah, rupanya waktu kunjungku di dunia telah habis.
Auld lang syne, Harun…
4 comments
tidak sulit untuk dimengerti kalau pasrah membiarkan dia pergi untuk satu kebahagiaan..
ReplyDeletenice twist!
ReplyDeletepenuh haru dan manis.. ^^
romyan menyukai ini... hmmm... nice..keren neng..:)
ReplyDeletemerinding bacanya. sukaaaaaa. :)
ReplyDelete