Powered by Blogger.

Auld Lang Syne, Harun (Part 2)

by - 18:29



Hallo, Apa kabar Harun?

Tanpa aku harus bertanya pun, aku tahu kabarmu. Langitmu sedang cerah, Tuhan tumpahkan banyak warna biru muda di semesta kecilmu. Maaf , aku tiba tiba saja datang. Aku tahu kamu pasti tak akan suka ketika langit birumu tertutupi mendung kelabu. Tapi aku rindu, sudah 3 tahun kita tidak bertemu. Terakhir yang aku ingat: kita berdua duduk berpelukan di bangku taman. Saat itu mendung dan angin pun menikmati peran barunya sebagai hairstylist dadakan yang seenaknya mengubah tatanan rambut kita. Air danau yang berwarna hijau dipenuhi guguran daun angsana yang kuning menua dan dingin, lalu kamu berbisik:

“Jangan pergi…”

Kalau saja aku bisa, aku tidak mau untuk beranjak pergi. Jika saja detik jarum jam dapat memutar dirinya sendiri melawan arah jarum jam, pasti kamu tahu apa yang akan kita lakukan. Tapi kau tahu bukan, kita kerap keluar masuk toko barang antik untuk mencari jam pasir langka yang mereka bilang dapat mengulang waktu, tapi sayangnya tidak pernah kita temukan. Yang tersisa senja hari itu antara kamu dan aku adalah air asin merembes perlahan dari lubang kecil di ujung mata. Aku mengerti, kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk menambal kebocoran pada kedua matamu tapi usaha mu sia-sia. Aku mengerti ketidak mengertianmu akan keputusanku untuk meninggalkanmu. Bukan salahmu, juga bukan salah Tuhan, tetapi inilah yang harus kita terima dan ikhlas jalani.

Sejak hari itu kita tidak pernah duduk bersama lagi untuk sekedar mengupas, memotong, mengunyah dengan campuran ludah sampai menelan bulat-bulat sebuah percakapan seperti biasanya dengan gelak tawa. Pun kamu memutuskan meletakkan pena, berhenti menulis untukku. Terakhir yang ku tahu kamu gunakan jarimu sebagai penanya dan darahmu sebagai tintanya serta air matamu menjadi alas tulisnya untuk sebuah pengingat perpisahan untukku.

Sekarang mungkin tidak ada lagi sapaan ‘Selamat pagi’ yang rajin kamu kirim saat matahari merekah mencium hangat ubun-ubun kepalaku. Tidak juga berlembar-lembar puisi dadakan yang kamu buat dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumahku. Tidak ada lagi cerita dan tawa dengan menikmati secangkir teh dan kue kering jahe seperti biasa. Yang tersisa hanya helaan nafas panjang juga sisa sisa air mata mengering di pipi.

Mungkin kita terlalu lama mencoba beradaptasi dalam kesunyian yang diciptakan keadaan. Terperangkap dalam kotak waktu, dan kita dipaksa untuk terus bergerak maju tanpa pernah berhenti sejenak untuk saling mengusap peluh dan menatap wajah masing masing. Seperti kau bilang dulu: “sulit mengerti banyak hal. begitu banyak hal yang sulit dimengerti

Hari ini aku meluangkan waktu untuk datang menengokmu. Aku tak mau mengagetkanmu. Cukup melihatmu dari jauh aku tahu bahwa kamu baik baik saja. Aku jauh dibelakangmu ketika dirimu melangkahkan kaki menuju altar gereja dengan garis senyum khas yang selalu membuat jantungku berdegup saat menatapnya. Semua sahabatmu yang juga kukenal baik pun hadir tak terkecuali ayahmu yang sibuk menyelipkan mawar putih di kantung sebelah kanan jas nya, juga ibumu yang tetap terlihat cantik dan adikmu yang tertawa bersama sepupu-sepupumu. Mereka hadir semua untukmu, kamu sungguh beruntung Harun. Aku berharap mereka tidak melihat ku dalam keadaan seperti sekarang ini, aku beruntung karena tempat yang kupilih untuk berdiri tak terjamah ekor mata mereka.

Dan piano yang dimainkan pianis gereja berdenting saat perempuan manis yang mempunyai rambut panjang terurai dihias bunga dengan gaun putih melangkah masuk perlahan, menuju mu yang berdiri di ujung altar. Dia beruntung, dia mempelaimu.

Kalian punya banyak kesamaan, tidak seperti kita dahulu yang mencoba berdiri tegak di atas perbedaan, tanpa menyadari bahwa perbedaan ittulah yang melukai kita. Sudah banyak yang mengatakan ‘beda itu indah.’ Namun nyatanya pahit, tidak semanis gulali yang kerap kamu belikan untukku dari pasar malam di kampung dekat rumahku dulu. Yang kita tahu adalah beda itu menyakitkan dan sulit dimengerti.

Sekarang genap sudah kamu berdiri bersisikan dia. Boleh aku bilang aku iri? Betul Harun, aku iri. Tapi apa kehedak, bahwa Tuhanmu dan Tuhanku tidak menyetujui kita bersampingan menghadap mereka dalam suatu pengucapan janji sehidup semati.

Bisikan doa sebelum misa pernikahan dimulai, doa dari hatimu yang disampaikan angin, hingga menyentuh telingaku dalam senyap. Dengan menghadap Tuhanmu yang tersalib di altar gereja, kamu memejamkan mata, menarik nafas dan mulai berdoa:

“Tuhan..aku rindu dia, sampaikan salamku padanya tuhan, aku sangat rindu.. jaga dia untukku tuhan,semoga dia damai disisiMu. atas nama Bapa, Roh kudus dan Bunda Maria, amin.”

Suara adzan telah menggema, memenuhi langit senja. Kamu lihat? Dua malaikat tersenyum di pelataran untuk menjemputku kembali pulang. Ah, rupanya waktu kunjungku di dunia telah habis.


Auld lang syne, Harun…

You May Also Like

4 comments

  1. tidak sulit untuk dimengerti kalau pasrah membiarkan dia pergi untuk satu kebahagiaan..

    ReplyDelete
  2. nice twist!
    penuh haru dan manis.. ^^

    ReplyDelete
  3. romyan menyukai ini... hmmm... nice..keren neng..:)

    ReplyDelete
  4. merinding bacanya. sukaaaaaa. :)

    ReplyDelete