Kado Untuk rara
Ini bukan kisah dongeng penghantar tidur.
Dedaunan menggeraikan cahaya matahari senja yang masuk menyirami kamar dengan warna keemasannya melalui jendela. Kita hanya disekat oleh garis tipis cahaya, tapi masih memaksakan diri saling mendekap. Hawa kamar memanas karena dengus nafas yang memburu dan gesekan kulit yang berkeringat. Cerita hari ini belumlah usai sesudah pergumulan panjang di ranjang, ini baru permulaan. Cerita kita akan berlanjut dalam pilihan hidup : lanjut ataukah berhenti.
Mungkin bibirku rindu disentuh bibirmu..
Aku tersenyum kecut. Pelukanmu semakin erat, membuatku sesak nafas. Dadaku terhimpit dadamu. Bibirmu memagut bibirku yang tersentak kaget.
"I love you Di..." ucapmu pelan
Shit! aku mengumpat
"seperti biasa...kau tidak romantis, Di!" rajukmu
Oh, maaf Rara. Bukan maksud menjawab kata cintamu dengan tahik. Aku hanya tidak tahu padanan kata yang tepat untuk mengatakan cinta dalam beda bahasa. Tapi hanya saja aku tahu ini tidak benar. Seharusnya kita sudahi saja, senja sudah semakin turun. Mari kita mencoba realistis, cinta ini sudah tidak manis bahkan terkesan miris. Bukannya aku tidak menghargai kata cintamu, namun seluruh ruang bernama cinta dalam rumah kecil yang disebut hati dalam diriku ini baru saja digusur. Developer biadab macam kamu yang seenaknya membangun kemudian menggusurnya, jadi tidak mungkin kujawab I love you too pada orang yang jelas-jelas sudah meluluh lantakkan serat-serat halus hatiku.
}Di..aku selalu merindukanmu setiap malam.." ucapmu lirih memandangi kedua mataku
Jangan bercanda Ra! Setiap kali kau ucapkan kata sejenis cinta dan rindu, tahukah kamu aku tertawa sekaligus mengerang kesakitan? Terlalu lama hati ini kamu siksa. Setiap kali kamu katakan rindu setiap malam pula lelaki itu memilikimu, mendekapmu dan mencumbumu, bukan aku. Selama ini aku hanya berperan sebagai mobil plymouth tua favoritmu yang berakhir di garasi rumah yang gelap dan dingin. Dimana kau rindu kau akan mendatangiku, mengelusku dan mencobanya di dalam garasi. Tetapi ketika kau menghadapi dunia kau akan mengendarai Porsche keluaran terbaru yang sudah bersamamu selama 1 tahun terakhir ini.
Ah, Rara aku benar-benar mencintaimu tapi aku tahu ini tidak baik. apa yang kita punya selama ini tidak kurang dari naluri binatang yang terus kita pelihara dalam batang urat nadi kita. Mencicipi dosa yang manis rasanya, dan mengukuhkan diri kita sebagai pembangkang. Kita selalu bisa merayakan dosa besar kita secara kecil-kecilan di tempat tidur apartemenku.
"Di...aku akan menikah. Ibu dan kakakku sudah menerima lamaran Duta." kamu mulai menangis pelan, inilah bagian yang paling menyesakkanku.
Pelukanmu mengendur, Aku mengangguk, mengerti. mungkin inilah saatnya membubuhkan kata Tamat pada cerita usang kita yang sudah berlembar-lembar banyaknya. Aku tersenyum kecut, seandainya aku bisa menjadi lelaki itu Ra. Seandainya aku yang menikahimu. sekali lagi bibirmu menyentuh bibirku, menciumnya dengan keras dan melumatnya sebelum akhirnya kita memutuskan untuk benar-benar berpisah.
"Di, aku benar-benar mencintaimu. Kita masih bisa melanjutkan hubungan ini. Toh nantinya dia tidak akan tahu ketika ku sering mengunjungimu."
Aku menggeleng keras. Sudah! Hentikan rara! Kita salah. Kita tidak akan bisa diselamatkan, ini salah Ra!
"ini bukan cinta Ra, ini birahi. Ini hanyalah nafsu liar kita." aku mulai bersuara setelah lama terdiam
Rara memandangku dengan tajam, sebelum akhirnya tangan mulusnya mendarat di pipiku. Kemudian di ujung matamu kau sisakan setitik air untukku. Kamu menangis Ra, dan aku berdosa membuatmu menangis. Maaf Rara...
***
Hujan belum juga berhenti, aku memandang kaku ke arah jalanan yang tersiram deras hujan dalam kubik yang banyak. Kutarik satu batang nikotin dari tempat rokok pemberian ayah tahun lalu sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Kusulut rokok, kuhisap dalam-dalam dan kuhembuskan kuat-kuat. Sepertinya dunia berputar cepat. Cinta tidak pernah salah, cintapun tidak pernah buta, hanya saja kita sendiri yang mencolok mata kita hingga buta dalam melihat cinta. Cintapun tidak pernah datang tepat waktu, selalu ada jam karet untuk semua hal di dunia ini begitu pun cinta. Aku tertawa kecil, meratapi akhir dari guratan cerita yang tuhan tuliskan untukku. Cinta Rara padaku salah alamat. cinta murahan yang kami coba-coba dan berakhir pada persukutuan yang diperbudak nafsu.
Aku mengenal Rara ketika duduk di kelas 2 SD, saat itu Rara adalah anak pindahan dari Bandung. Rara duduk sebangku denganku, rara sangat menyenangkan. Sejak saat itu kami menjadi dekat dan bersahabat. Rara sering main ke rumahku ketika pulang sekolah begitu juga sebaliknya.
Kami pun beranjak dewasa bersama dan melewati hari-hari dengan senda gurau. Rara memutuskan untuk masuk ke SMP swasta yang sama denganku, Rara mengorbankan nilai-nilainya yang cemerlang hanya karena nilaiku yang rendah padahal dia diterima di smp negeri terkemuka di Jakarta. Selalu bersama Rara bahkan masuk ke SMA yang sama, sekelas dan juga sebangku. aku masih ingat Rara meraung-raung menangis ketika dia dicampakkan begitu saja oleh pacar pertamanya si SMA, dia bilang dia tidak pernah merasa sesakit itu. Aku hanya bisa memeluknya dan menemaninya seperti biasa. Kemudian dia bilang bahwa dia merasa nyaman bersamaku. Merasa tenang dan senang. Akupun merasakan perasaan yang sama. Sampai akhirnya serat halus di hati kami bergetar satu sama lain acap kali kami memandang satu sama lain. Kami saling jatuh cinta. Sejak saat itu kami pun menjalin hubungan tanpa ada seorang pun yang tahu.
aku menggeleng, aku melihat sosok laki laki menghampiriku dari pantulan kaca dan memelukku dari belakang. Mengecup leherku. Berbisik di telingaku.
"Diandra.. apa kamu tahu Rara akan menikahi Duta, minggu besok?"
"iya aku tahu. dia pasti akan terlihat cantik dalam balutan kebaya pengantinnya"
"akhirnya setelah berpacaran setahun, Rara dapat menentukan pilihannya untuk segera menikah. Aku sangat senang mendengarnya."
"hidup itu pilihan sayang..."
"Di...bukankah sebaiknya kita juga menikah?"
"aku belum mau."
"tapi Di! Perut ini akan semakin membesar, aku mencintai anak kita Di"
"tapi tak harus diselesaikan dengan pernikahan kan?"
"Diandra dengar! aku hanya ingin ketika dia lahir dia mempunyai seorang ayah."
Aku diam melempar pandangan ke luar jendela
"berjanjilah Di..menikah denganku, aku mencintaimu dan anak kita Di."
Aku mengangguk, aku mengelus perutku yang beberapa bulan lagi akan menjadi besar. Hidup memang pilihan, sekeras apapun aku ingin menjalaninya sendiri, tetap saja anak dalam rahimku memerlukan figur ayah. Aku ingin anakku pun dekat dengan ayahnya, sama seperti aku dekat pada ayahku. Beberapa hari lagi sebelum hari pernikahan Rara, aku akan datang kepadanya dan mengucapkan selamat. Dan juga akan memberi tahu kabar gembira padanya bahwa aku akan segera menikah dan mengandung benih dari Rama, kakaknya.
0 comments